Jumat, 21 Mei 2010

TRADISI UPACARA KEMATIAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

Tiap daerah punya tradisi menghormati kematian. Jika di Bali kita kenal dengan istilah Ngaben, di Sumatera Utara, Sarimatua, maka di Tana Toraja dikenal dengan upacara Rambu Solo'. Persamaan dari ketiganya: ritual upacara kematian dan penguburan jenazah. Di Tana Toraja sendiri memiliki dua upacara adat besar yaitu Rambu Solo' dan Rambu Tuka. Rambu Solo' merupakan upacara penguburan, sedangkan Rambu Tuka, adalah upacara adat selamatan rumah adat yang baru, atau yang baru saja selesai direnovasi.

I. Upacara Kematian Di Tanah Toraja
Berikut saya akan menceritakan tentang Upacara Kematian Di Tanah Toraja. Rambu Solo' merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memakan waktu berhari-hari untuk merayakannya. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke barat dan biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa sampai dua minggu untuk kalangan bangsawan. Kuburannya sendiri dibuat di bagian atas tebing di ketinggian bukit batu.
Karena menurut kepercayaan Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Tana Toraja dulu, sebelum masuknya agama Nasrani dan Islam) di kalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana.
Upacara ini bagi masing-masing golongan masyarakat tentunya berbeda-beda. Bila bangsawan yang meninggal dunia, maka jumlah kerbau yang akan dipotong untuk keperluan acara jauh lebih banyak dibanding untuk mereka yang bukan bangsawan. Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa berkisar dari 24 sampai dengan 100 ekor kerbau. Sedangkan warga golongan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor kerbau ditambah dengan 50 ekor babi, dan lama upacara sekitar 3 hari.
Tapi, sebelum jumlah itu mencukupi, jenazah tidak boleh dikuburkan di tebing atau di tempat tinggi. Makanya, tak jarang jenazah disimpan selama bertahun-tahun di Tongkonan (rumah adat Toraja) sampai akhirnya keluarga almarhum/ almarhumah dapat menyiapkan hewan kurban. Namun bagi penganut agama Nasrani dan Islam kini, jenazah dapat dikuburkan dulu di tanah, lalu digali kembali setelah pihak keluarganya siap untuk melaksanakan upacara ini.
Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo' maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih 'sakit', maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya.
Jenazah dipindahkan dari rumah duka menuju tongkonan pertama (tongkonan tammuon), yaitu tongkonan dimana ia berasal. Di sana dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban atau dalam bahasa Torajanya Ma'tinggoro Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang Toraja, menebas kerbau dengan parang dengan satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu, kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang hadir.
Jenazah berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon) hanya sehari, lalu keesokan harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada agak ke atas lagi, yaitu tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya sama dengan di tongkonan yang pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan dagingnya akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan tersebut.
Seluruh prosesi acara Rambu Solo' selalu dilakukan pada siang hari. Siang itu sekitar pukul 11.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita), kami semua tiba di tongkonan barebatu, karena hari ini adalah hari pemindahan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante (lapangan tempat acara berlangsung).
Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Di depan duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya terletak di depan keranda jenazah, dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut ditarik oleh para wanita dalam keluarga itu).
Prosesi pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante dilakukan setelah kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat arwah ikut mengusung keranda tersebut. Para laki-laki yang mengangkat keranda tersebut, sedangkan wanita yang menarik lamba-lamba.
Dalam pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksanakan, pada urutan pertama kita akan lihat orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu diikuti dengan tompi saratu (atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu tepat di belakang tompi saratu ada barisan tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba dan yang terakhir barulah duba-duba.
Jenazah tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat prosesi berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang terbuat dari bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai tempat tinggal para sanak keluarga yang datang nanti. Karena selama acara berlangsung mereka semua tidak kembali ke rumah masing-masing tetapi menginap di lantang yang telah disediakan oleh keluarga yang sedang berduka.
Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan diletakkan di lakkien (menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang yang ada di rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di atas lakkien sebelum nantinya akan dikubur. Di rante sudah siap dua ekor kerbau yang akan ditebas.
Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu, yaitu sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Pada sore hari setelah prosesi penerimaan tamu selesai, dilanjutkan dengan hiburan bagi para keluarga dan para tamu undangan yang datang, dengan mempertontonkan ma'pasilaga tedong (adu kerbau). Bukan main ramainya para penonton, karena selama upacara Rambu Solo', adu hewan pemamah biak ini merupakan acara yang ditunggu-tunggu.
Selama beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau merupakan agenda acara berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai semua tamu-tamunya berada di tempat yang telah disediakan yaitu lantang yang berada di rante. Sore harinya selalu diadakan adu kerbau, hal ini merupakan hiburan yang digemari oleh orang-orang Tana Toraja hingga sampai pada hari penguburan. Baik itu yang dikuburkan di tebing maupun yang di patane' (kuburan dari kayu berbentuk rumah adat).
http://www.bloggertoraya.com/2009/03/upacara-kematian-di-tana-toraja.html

II. Upacara Kematian Brobosan Di Tanah Jawa
Salah satu upacara tradisional dalam adat istiadat kematian jawa adalah upacara Brobosan. Upacara Brobosan ini bertujuan untuk menunjukkan penghormatan dari sanak keluarga kepada orang tua dan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Upacara Brobosan diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal, sebelum dimakamkan, dan dipimpin oleh anggota keluarga yang paling tua.
Tradisi Brobosan dilangsungkan secara berurutan sebagai berikut:
1) peti mati dibawa keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah upacara doa kematian selesai,
2) anak laki-laki tertua, anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan, berjalan berurutan melewati peti mati yang berada di atas mereka (mrobos) selama tiga kali dan searah jarum jam,
3) urutan selalu diawali dari anak laki-laki tertua dan keluarga inti berada di urutan pertama; anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang.
Upacara tradisional ini menyimbolkan penghormatan sanak keluarga yang masih hidup kepada orang tua dan leluhur mereka.
http://gudeg.net/id/directory/84/713/Kematian-Brobosan.html







III. Analisis
Tradisi upacara kematian di Indonesia ini memang telah menjadi suatu kebudayaan bahkan dirasa bisa menarik perhatian wisatawan akan tradisi kematian tersebut. Dengan banyaknya suku di Indonesia, banyak pula tradisi kematian di Indonesia dengan bermacam-macam ritual.
Dalam hal ini saya membahas ritual kematian di Tanah Toraja dan di Jawa. Toraja sudah banyak dikenal orang dengan ritual kematiannya yang unik dan mewah. Toraja lebih dikenal dengan sebutan Tanah para raja-raja, di sana kita akan banyak menemukan rumah-rumah adapt khas toraja yang disebut dengan Tongkonan dan kuburuan para raja-raja juga kuburan adapt yang sangat unik dan hanya ditemukan di Toraja. Ritual kematian di Toraja sudah mempunyai nilai-nilai yang diturunkan secara turun-temurun. Apa yang dilakukan dalam pesta Rambu Solo sesungguhnya hanyalah sebuah simbol. Simbol dari sebuah tradisi yang turun temurun. Sebab, dalam pelaksanaan upacara ini, ada yang lebih penting; ada makna yang terkait erat dengan kepercayaan masyarakat. Bagi sebagian orang, tradisi ini bisa jadi dinilai sebagai pemborosan. Sebab, demikian besar biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraannya. Bahkan, ada yang sampai tertunda berbulan-bulan untuk mengumpulkan biaya pelaksanaan upacara ini; bahkan yang menyatakan, orang Toraja mencari kekayaan hanya untuk dihabiskan pada pesta kematian. Pandangan lain menyatakan, sungguh berat acara itu dilaksanakan. Sebab, orang yang kedukaan justru harus mengeluarkan biaya besar untuk pesta. Untuk diketahui, hewan-hewan yang dikorbankan dalam upacara itu, ternyata bukan hanya dari kalangan keluarga yang meninggal, tetapi juga merupakan bantuan dari semua keluarga dan kerabat. Selain itu, hewan yang dikorbankan itu juga dibagi-bagikan, termasuk disumbangkan ke rumah-rumah ibadah. Pesta ini sesungguhnya menjadi simbol dari upaya melestarikan tradisi tolong-menolong dan gotong-royong.
Bagi orang Jawa, tradisi slametan yang dilaksanakan secara turun temurun, adalah sebuah proses mistik, yang mana merupakan tahap awal dari proses dalam pencarian keselamatan ( slamet ), yang kemudian diikuti oleh mayoritas orang Jawa dalam menuju ujung pengembaraan dalam kehidupan ini, yakni menuju tahap yang paling akhir, kesatuan kepada Tuhan.
Acara slametan berikutnya adalah disaat adanya kematian, biasanya meliputi :
1. Slametan 3 harian
2. Slametan 7 harian
3. Slametan 40 harian
4. Slametan 100 harian
5. Slametan tahun ke 1
6. Slametan tahun ke 2
7. Slametan tahun ke 3
8. Slametan 1000 hari dst
Ada pula slametan menurut adat Kejawen yang biasa disebut 'Penyempurnaan Roh", yang dilaksanakan pada saat kematian, yang ditandai dengan sesajen 'Tumpeng Ungkur - Ungkur', yang memiliki makna bahwa almarhum/almarhumah telah 'mungkur', meninggalkan dunia ini.
Demikian, kiranya kita dapat mengambil sisi baik dari sebuah budaya dan tradisi Jawa, yang menjadi tugas kita adalah melestarikannya untuk kebaikan putra wayah dan dapat dijadikan sarana untuk mikul dhuwur mendhem jero bagi keselarasan hubungan kita dengan alam dan menjunjung tinggi nilai leluhur yang perlu di uri-uri keberadaannya.
Dengan banyaknya ritual kematian yang berbeda di Indonesia, semakin membuat Indonesia indah akan keragamannya. Intinya tujuan dari ritual kematian di Indonesia adalah mengenang kepergian orang tersebut hingga mampu mengantarkan pada peristirahatannya yang terakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar