Kamis, 20 Mei 2010

ini tugas kuantitatifku, mana punyamu ?

Film kartun termasuk salah satu tontonan televisi yang masih banyak diminati oleh masyarakat Indonesia, salah satunya anak-anak. Film kartun disukai karena mengandung unsur hiburan, sumber informasi, edukasi, dan berperan sebagai fasilitasi serta substitusi dari hubungan sosial. Menurut Dr. Rose Mini A. Prianto, M. Psi., psikolog yang juga sekaligus pendiri Taman Kreativitas Anak Indonesia, film kartun bisa membantu anak-anak untuk mengasah daya pikir dan imajinasinya serta menanamkan berbagai nilai dan etika. Anak-anak dapat melakukan pembelajaran dengan cepat, mereka mampu menyerap informasi bahkan mengaplikasikannya dengan baik. Maka dari itu film kartun harus bebas dari unsur kekerasan atau sifat-sifat tercela lainnya (parenting.co.id). Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 36 ayat 5, melarang isi siaran yang (a) bersifat fitnah, mengasut, menyesatkan dan/atau bohong, (b) menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang, atau (c) mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Sayangnya di Indonesia masih banyak film kartun yang sarat dengan kekerasan atau sadisme. Sri Andayani (1997) melakukan penelitian terhadap beberapa film kartun Jepang, seperti Sailor Moon, Dragon Ball, dan Magic Knight Ray Earth. Ia menemukan bahwa film tersebut banyak mengandung adegan antisosial (58,4%) daripada adegan prososial 41,6%). Hal ini sungguh ironis, karena film tersebut bertemakan kepahlawanan. Studi ini menemukan bahwa kategori perlakuan antisosial yang paling sering muncul berturut-turut adalah berkata kasar (38,56%), mencelakakan 28,46%), dan pengejekan (11,44%). Sementara itu kategori prososial, perilaku yang kerapkali muncul adalah kehangatan (17,16%), kesopanan (16,05%), empati (13,43%), dan nasihat 13,06%).Temuan ini sejalan dengan temuan YLKI (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia), yang juga mencatat bahwa film kartun bertemakan kepahlawanan lebih banyak menampilkan adegan antisosial (63,51%) dari pada adegan pro sosial (36,49%).
Dalam penelitian Pediatrics menyebutkan anak-anak usia 2-5 tahun yang sering menyaksikan film kartun yang menunjukkan kontak fisik memiliki kecenderungan bersikap agresif dan tidak patuh di masa mendatang.

Konsep : Agresi
Dari konsep yang peneliti bahas dapat diketahui definisi agresi. Teori tentang perilaku agresif banyak dikemukakan oleh para ahli, ada yang mengatakan bahwa perilaku agresif merupakan sifat bawaan, sedangkan ahli yang lain memandang karena adanya lingkungan. Berbagai pandangan tersebut diuraikan berdasarkan minat pada bidang yang ditekuninya. Di bawah ini akan dijelaskan dalam beberapa teori tentang perilaku agresif, yaitu:
 Perilaku Agresif sebagai Perilaku Bawaan
Freud (Barbara, 2005) dengan teorinya berpandangan bahwa perilaku individu didorong oleh dua kekuatan dasar yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sifat kemanusiaan, yaitu perilaku agresif itu berasal dari insting mahluk hidup yang pada dasarnya pada diri manusia terdapat dua macam insting, yaitu insting kehidupan (eros) dan insting kematian (thanatos). Insting kehidupan terdiri atas insting reproduksi atau insting seksual dan insting-insting yang ditujukan untuk pemeliharaan hidup, sedangkan insting kematian memiliki tujuan untuk menghancurkan hidup individu (Hudaniyah dan Dayakisni, 2003). Dalam teori ini perilaku agresif merupakan ekspresi dari adanya insting kematian. Insting inilah yang menjadi patokan untuk menjelaskan adanya beberapa bentuk tingkah laku agresif seperti peperangan ataupun bunuh diri. Freud (Baron dan Byrne, 2000) beranggapan bahwa insting mati yang dapat menjelaskan perilaku agresif mempunyai sifat katarsis atau pelepasan ketegangan yang dapat merugikan masyarakat.
 Perilaku Agresif sebagai Perilaku Belajar
Menurut teori belajar, kondisi dan tingkah laku agresif terhadap individu lain bukan bersifat instingtif, tetapi diperoleh melalui belajar. Sears, dkk (1995) menyatakan mekanisme utama yang menentukan perilaku agresif manusia adalah proses belajar masa lampau. Perkembangan ini disebabkan oleh proses belajar. Belajar melalui pengalaman coba-coba, pengajaran moral, instruksi khusus, pengalaman diri sendiri melalui pengamatan terhadap orang lain akan membantu mengajarkan cara merespon pada individu. Individu juga mempelajari bermacam-macam bentuk tingkah laku yang dapat diterima oleh masyarakat melalui cara mempelajari akibat penampilan dari respon tersebut (Sears, dkk, 1995).

 Perilaku Agresif sebagai Perilaku Belajar Sosial
Teori belajar sosial menekankan kondisi lingkungan yang membuat seseorang memperoleh dan memelihara respon-respon agresif. Asumsi dasar teori ini adalah sebagian besar perilaku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan (observasi) atas perilaku yang ditampilkan oleh individu-individu lain yang menjadi model (Hudaniyah dan Dayakisni, 2003).
Motivasi individu untuk mengamati dan mengungkapkan atau mencontoh tingkah laku model akan kuat apabila model memiliki daya tarik dan memiliki efek yang menyenangkan atau mendatangkan penguatan (reinforcement). Sebaliknya, individu pengamat kurang termotivasi untuk mencontoh perilaku agresi itu tidak memiliki daya tarik dan dengan agresi yang dilakukannya si model tidak menyenangkan, efeknya negatif atau hukuman (Hudaniyah dan Dayakisni, 2003).
Proses modelling menjelaskan bahwa anak mempunyai kecenderungan kuat untuk berimitasi (meniru), mudah berimitasi terhadap figur tertentu, misalnya tokoh yang terkenal, orang-orang sukses dan orang yang sangat akrab serta sering mereka temui karena perilaku orang di sekitarnya dapat dipakai sebagai model yang ditirunya.
Dengan adanya paparan di atas, peneliti mengajukan penelitian kuantitatif dengan menggunakan perilaku agresi sebagai variabel Y sedangkan variabel X peneliti menggunakan konsep perilaku belajar sosial. Sesuai dengan penjelasan dari beberapa penelitian sebelumnya bahwa banyak faktor yang mempengaruhi tontonan film kartun terhadap agresi anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar